Pagi itu, 22 Oktober 2025 langit Blitar tampak teduh. Udara berembus pelan, membawa ketenangan yang sulit dijelaskan dengan kata. Di ruang tunggu Pengadilan Agama Blitar, para aparatur berdiri rapi dalam barisan yang khidmat. Tak ada suara yang meninggi, hanya lantunan doa yang perlahan naik menembus langit, sebuah persembahan sederhana untuk memperingati Hari Santri Nasional.
Doa bersama itu menjadi ruang hening untuk menundukkan hati, mengenang kembali jejak para santri yang telah mengajarkan makna keikhlasan dan perjuangan. Dari pesantren, mereka menyalakan bara semangat cinta tanah air, berpadu antara ilmu, iman, dan pengorbanan.

Dalam barisan yang tegap namun rendah hati itu, para aparatur mengangkat tangan, melafalkan doa dengan suara pelan dan penuh penghayatan. Setiap lafaz terasa mengalir lembut, seolah mengajak seluruh semesta menjadi saksi akan niat tulus mereka, agar semangat santri tetap hidup di setiap langkah pengabdian.
Tidak ada batas jabatan dalam barisan itu. Hakim, panitera, sekretaris, hingga staf berdiri sejajarm, menjadi jamaah yang sama di hadapan Tuhan. Itulah ajaran pesantren yang diamalkan hari itu, kesetaraan dalam khidmah, kesederhanaan dalam kemuliaan.

Doa mengalun panjang, menyentuh relung hati. Harapan dipanjatkan agar aparatur Pengadilan Agama Blitar senantiasa diberi kekuatan untuk menegakkan keadilan dengan kejujuran, menjaga amanah dengan keikhlasan, dan melayani masyarakat dengan adab sebagaimana santri berkhidmah kepada gurunya.
Ketika doa berakhir, keheningan masih menggantung. Di antara wajah-wajah yang teduh, ada sinar keyakinan bahwa semangat santri merupakan napas perjuangan yang terus hidup di masa kini.
Hari itu, Pengadilan Agama Blitar tak hanya memperingati Hari Santri, tapi juga meneguhkan kembali nilai-nilai pesantren dalam ruang pengabdian, tawadhu’, tanggung jawab, dan cinta tanah air.

